Kadis Nakertrans Prov. NTB menjadi Narasumber di FGD Pelaksanaan program JKP. Foto: istimewa 

Mataram, (CatatanNTB.com) - Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTB menggelar Focus Group Discussion (FGD) Pelaksanaan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) di Mataram, Selasa (4/6/2024). Kegiatan yang dilaksanakan selama dua hari ini diikuti oleh 25 peserta yang terdiri dari unsur serikat pekerja, perusahaan, mediator dan pengawas.


Salah satu upaya pemerintah untuk mengantisipasi resiko PHK adalah dengan meluncurkan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) oleh BPJS Ketenagakerjaan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan. 


Program Perlindungan Sosial bagi pekerja, sebenarnya sudah diatur dalam UU Nomor 40 tahun 2004. Baik perlindungan sosial ketenagakerjaan maupun perlindungan sosial kesehatan. Namun khusus terkait Program JKP dalam implementasinya tercatat masih sangat kurang. Mengapa masih sangat kurang? Padahal program ini sudah diinisiasi sejak 5 tahun yang lalu. Artinya Program JKP mengisyaratkan pentingnya dilakukan evaluasi kritis dan mungkin juga perlu penyempurnaan, baik dari aspek regulasi, persyaratan dan teknis pelayanan maupun sosialisasinya. 


"Inilah yang harus diidentifikasi dan diselaraskan antara norma yang diatur dalam regulasi dengan permasalahan nyata yang dihadapi dilapangan. Sehingga FGD ini nantinya diharapkan bisa memberi masukan atau rekomendasi kepada pemerintah untuk penyempurnaannya dimasa yang akan datang," ujar Kadisnakertrans NTB I Gede Putu Aryadi, S.Sos, MH saat membuka acara FGD.


Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang mampu mengakomodir kepentingan dan perlindungan, baik kepada pekerja maupun pemberi kerja. Apalagi pekerja dan pemberi kerja memiliki hubungan simbiosis mutualisme.


"Setiap ada masalah harus ada musyawarah. Jangan ragu untuk membuka sarana diskusi," ujarnya.


Dalam pemaparannya sebagai narasumber, Aryadi menyampaikan kondisi perlindungan sosial di NTB dari 595 ribu orang hanya 365 ribu atau 60% yang terlindungi. Yang lebih parah bukan penerima upah atau pekerja mandiri/pekerja rentan dari 1 juta orang hanya 16% yang terlindungi. 


Cakupan perlindungan sosial bagi pekerja formal dan informal perlu digesa, karena ketiadaan perlindungan sosial bagi tenaga kerja merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya masalah turunan lainnya, salah satunya kemiskinan ekstrem.


"Pengawas ketenagakerjaan dan BPJS Ketenagakerjaan perlu sering-sering mengedukasi perusahaan tentang manfaat kepesertaan Jamsostek dan mencari tahu penyebab kenapa perusahaan tidak mendaftarkan pekerjanya menjadi anggota Jamsostek," himbau Aryadi.


Terkait cakupan perlindungan sosial bagi pekerja bukan penerima upah atau pekerja rentan, Disnakertrans NTB bersama dengan DPRD Provinsi NTB sedang membuat Raperda Ketenagakerjaan yang salah satu pasalnya mengatur tentang perlindungan sosial bagi pekerja informal (pekerja rentan).


"Untuk pekerja formal sudah ada aturannya. Begitupula dengan perusahaan. Jadi tugas pemerintah adalah melakukan pengawasan. Yang belum ada aturannya adalah untuk pekerja informal. Adanya Raperda tentang perlindungan sosial bagi pekerja informal menunjukkan bahwa pemerintah hadir untuk menciptakan keadilan bagi semua orang melalui regulasi yang jelas dan sah," ujar Aryadi. 


Disnakertrans NTB baru-baru ini memproses perlindungan sosial pekerja asal NTB yang dananya masuk ke provinsi lain. Transaksi dana perlindungan sosial ketenagakerjaan harus di NTB. Ini terkait dengan kontribusi di daerah. 


Sementara itu, klaim BPJS Ketenagakerjaan per Mei 2024 sebanyak Rp 165 miliar dan 10.858 kasus, dengan rincian sebagai berikut: Jaminan Hari Tua sebanyak 9.426 kasus, Jaminan Pensiun sebanyak 289 kasus, Jaminan Kecelakaan Kerja sebanyak 274 kasus, Jaminan Kematian sebanyak 838 kasus, dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan sebanyak 29 kasus. 


"JKP meskipun baru harus bisa dimanfaatkan dengan baik dan benar. Apalagi manfaatnya sangat banyak," ujar Aryadi.


Dalam sesi diskusi, Sri dari Hotel Merumatta Senggigi bertanya apakah pekerja bisa membayarkan premi untuk anggota keluarga seperti pada BPJS kesehatan.


Menanggapi pertanyaan tersebut, Kabag Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan menyampaikan karyawan bisa membayarkan anggota keluarga dengan mengambil skema kolektif dari perusahaan. Jadi preminya akan disesuaikan dengan kerelaan gaji yang akan dipotong.


Pada kesempatan itu, Kadisnakertrans NTB memberikan beberapa saran, antara lain: pertama, jika ada pekerja yang ingin mendaftarkan pekerja mandiri kalau bisa iurannya dikurangi namun manfaatnya sama. Kedua, kalau bisa persyaratan klaim JKP dipermudah.(Red)